Sunday 18 May 2014

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Arkeologi
Kerajaan dan Kesultanan Palembang

Yusuf Yordan
(1112022000008)
Fakultas Adab dan Humaniora
Prodi Sejarah Kebudayaan Islam




Pengantar
Menelaah dan membahas tentang sejarah kerajaan di Indonesia dalam putaran waktu, bak disadarkan akan kegemilangan prestasi serta segenap kemajuan didalamnya. Mulai dari kerajaan samudra pasai dan seterusnya. Namun dalam perjalanannya, banyak sekali mengalami pasang surut dan jatuh bangun dalam pemerintahannya.
Di tengah haru biru aktifitas di masa lampau tersembul beragam kronik yang tak habis untuk dipelajari. Salah satunya yang paling mengesankan adalah berdirinya bentangan dinasti-dinasti atau kerajaan - kerajaan Islam yang telah menjadi karakteristik Negara Indonesia selama berabad-abad. Realita kerajaan – kerajaan tersebut telah membangun dan membentuk kesatuan didalamnya.
Satu tema yang tak boleh lekang dari perbincangan sejarah kerjaaan Indonesia adalah mengenai terbentuknya dinasti-dinasti kerajaan Palembang yang pada masanya banyak sekali mengalami pelbagai revolusi. Hal ini terjadi akibat banyak faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar pemerintahan itu sendiri. Maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu pemikiran yang perlu diperhatikan dan dipahami. Pelbagai bentuk pembaruan pemerintahan dan kekuasaan tentu menjadi sinyalemen betapa pentingnya dinasti-dinasti Palembang pada zamannya yang membentuk suatu peradaban.
Guna memudahkan pembahasan, penulis akan mencoba untuk mengulas sebuah pemerintahan kerajaan Palembang atau kesultanan Palembang terjadi dalam abad ke–17M dan ke-8M sampai dengan awal abad ke-19M Tempatnya adalah dikota Palempang dan sekitarnya. Mulai dari mengenai sejarah berdirinya, pemerintahannya, kemajuan-kemajuan yang dicapai serta sebab kemunduran dan keruntuhan kerajaan Palembang.







Isi
A.   Latar belakang berdirinya kerajaan Palembang
Sejarah kerajaan Palembang atau kesultanan Palembang terjadi dalam abad ke-17 M dan ke-18 M sampai dengan awal abad ke-19 M. Tempatnya adalah di kota Palempang dan sekitarnya, baik disebelah sungai Musi maupun di hulu dan anak-anaknya, yang dikenal dengan Batanghan Sembilan. Letaknya tidak terlalu jauh dan Kuala (- 90 KM) vang bermuara di selat Bangka.
Kota Palembang semula termasuk wilavah kerajaan Budha Sriwijaya yang berkuasa dari tahun 683 M sampai kira-kira tahun 1371 M. Catatan mengenai waktu berakhirnya kerjaan Sriwijaya bermacam-macam, yang pasti setelah runtuhnya kerajaan ini mengalami kekosongan kekuasaan, dan menjadi taklukan kerajaan Majapahit pada pertengahan abad ke-15 sampai tahun 1527 M.
Salah seorang adipati Majapahit yang berkuasa di Palembang adalah Aryo Damar (1455-1478), putra dari Prabu Brawijaya (1447-1451) Aryo Damar kawin dengan putri Campa bekas istri Brawijaya, Sn Kertabumi (1474-1478) dengan membawaanak Raden Fatah vang lahir di Palembang dan dibesarkan oleh ayah tirinva yakni Aryo Damar (1455). Kemudian ia menjadi pendiri kerajaan Demak pada tahun 1478.[1]
Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit Palembang menjadi daerah pelindung (protektorat) dari kerajaan Demak-Pajang dan Mataram di Jawa. Semula hubungan ini berjalan baik dan teratur, namun perkembangan keadaan membawa perubahan, khususnya semasa kerajaan Mataram.
Dalam sejarah kerajaan Mataram nampak sekali, bahwa hunbungan antara pusat dan daerah tidak selalu berjalan dengan baik, sebagai mana pengalaman penguasa-penguasa Palembang pra kesultanan, yang mendapat perlakuan tidak menenangkan dalam hubungannya dengan kerajaan Mataram, begitu juga Kyai Mas Endi, Pangeran Ario Kesumo Abdirronim sesudah menggantikan kedudukan kakaknya.
Pangeran Sedo Ing Rajek sebagai penguasa Mataram di Palembang mengalami hal yang sama, dimana beliau pada tahun 1668 mengirim urusan ke Mataram, tetapi ditolak oleh Amangkurat I. Dengan adanya hal ini maka beliau memelaskan ïkatan dengan Mataram. Maka menjadilah Palembang berdiri sendiri sebagai kesultanan Palembang Darussalam.[2]
Kapan hal ini mulai terjadi, tidak didapatkan keterangan-keterangan yang pasti. Disebutkan oleh P. Deroo Defaille dalam bukunya Dari Zaman Kesultanan Palembang sebagai berikut: Pangeran Ratu dalam tahun 1675 memakai gelar Sultan dan dalam tahun 1681 namanya Sultan Djamaluddin dan temyata orangnya sama dengan Sultan Ratu Abdurrahman dari tahun1690 yang dalam cerita terkenal dengan Sunan Tjadebalang, yang sebetulnya Tjandiwalang.

B.   Masa Kejayaan Kerajaan Palembang
Berbicara mengenai kerajaan Sriwijaya memang tidak ada habis-habisnya. Kali ini saya akan membahas mengenai masa-masa keemasan kerajaan Sriwijaya. Palembang dalam bagian kedua abad ke-18 telah menuju ke hari depan yang baik, yaitu pada masa Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin H. Ia menjalankan pemerintahan secara bijaksana. Perdagangan berkembang pesat dan timah telah memperkaya kerajaan. Di Kesultanan Palembang hak pemakaian tanah diserahkan kepada marga dengan menghormati batas-batas antara marga yang telah ditetapkan.
 keputusan hukuman dalam kesultanan Palembang terletak ditangan raja atau pembesar-pembesar kerajaan. Jika terjadi perselisihan diantara marga raja dapat bertindak sebagai penengah, demikian juga dalam perselisihan masalah tanah. Raja berhak menerima jasa-jasa dari penduduknya. Selain pajak, pendapatan lain kesultanan adalah "dibantukan" yakni suatu perdagangan monopoli primitif yang tidak berdasarkan pengertian melayu.
Dalam sistem ini raja atau pembesar pembesar kerajaan tertinggi membeli barang dengan harga vang murah dan harga pasar. Inilah yang disebut dengan "beli-beli natal". Pendapatan vang terpenting adalah dari monopoli yang ditetapkan, yaitu duapuluh ribu pikul dalam setahun. Keuntungan dari hasil jual beli inilah yang dipergunakan oleh sultan untuk membangun kembali keraton.


C.    Pemerintah, Ekonomi dan Politik

1.      Pemerintahan
Wilayah kesultanan Palembang Darussalam kira-kira meliputi wilayah keresidenan Palembang dulu pada waktu pemerintahan Belanda ditambah dengan Rejang-Amput Petulai (lebong) dan Belalu, disebelah selatan dari danau Ranau. Pusat pemerintahan kesultanan berada di kota Palembang dimana pemerintahan dikendalikan oleh putra mahkota, yang juga penasehat sultan langsung, wakil dan pengganti.
2.      Ekonomi
Perekonomian kesultanan Palembang, sesuai dengan letaknya, sangat dipengaruhi oleh perdagangan luar dan dalam negeri. Perdagangan diadakan dengan pulau Jawa, Riau, Malaka, negri Siam dan negri Cina. Disamping itu, datang pula dari pulau-pulau lainnya perahu-perahu yang membawa dan mengambil barang dagangan. Komoditi yang terpenting adalah hasil pertambangan timah.
3.      Politik
Politik yang dijalankan di kesultanan selama berdirinya +/- 50 tahun, membuktikan telah berhasilnya menciptakan pemerintahan vang stabil, dimana ketentraman dan keamanan penduduk dan perdagangan terpelihara dengan baik. Demikian juga hubungan dengan negara-negara tetangga umumnya terjalin dengan baik, hanya ada satu kali perang saja sewaktu pra-kesultanan pada tahun 1596 dengan Banten vang berlatar belakang pertikaian ekonomi untuk memperebutkan pangkalan perdagangan di selat Malaka.[3]
Prestasi politik pada masa pemerintahan Sultan Susuhunan Abdurrahman vang paling menentukan bagi perkembangan kesultanan Palembang Darussalam, adalah kebijaksanaannya untuk meiepaskan diri dari ikatan perlindungan (protektorat) Mataram kira-kira pada tahun 1675 tanpa menimbulkan penindasan dan peperangan. Hubungannya dengan Mataram tetap terpelihara dengan baik. Yang mendapat tantangan berat adalah politik dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme Eropa (Belanda dan Inggris) dengan kelebihan teknologi alat perangnya dan kelicikan politiknya, sehingga banvak mendatangkan kerugian kepada pihak kesultanan, dan akhirnya mengakibatkan hilangnya eksistensi kesultanan itu sendiri. Politik imperialis dan kolonialis ini yang dikenal dengan "Belanda minta tanah" dengan taktik tipu muslihatnva devide et impera.

D.   Peran Ulama di Kesultanan atau kerajaan Palembang
Sejarah penyebaran agama Islam di kesultanan ini tak terlepas dari seorang yang lazim dinamakan Kyai atau guru mengaji. Pada periode pemerintahan Kyai Mas Endi Pangeran Ario Kesumo Abdurrahman (1659-1706) terkenal seorang ulama vang bernama K.H. Agus Khotib Komad seorang ahli tafsir Al-Qur'an dan Fiqih, Tuan Faqih Jalaluddin mengajarkan ilmu Al-Qur"an dan Ilmu Ushuluddin seorang ulama terkenal pada periode Sultan Mansur Joyo Ing Lago (1700-1714). Ulama ini masih menjalankan dakwahnya hingga masa pemerintahan Sultan Agung Komaruddin Sri Terung (1714-1724) juga pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo (1724-1758) sampai akhir hayatnya pada tahun 1748. Sebulan setelah beliau wafat Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo mendirikan masjid untuk wakaf kaum muslimin pada tanggal 25 Juni 1748. Masjid tersebut masih ada hingga sekarang dan dikenal dengan nama Masjid Agung.
Pada masa Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adikesumo (1758-1776) lahir di Palembang seorang ulama besar yang bernama Syekh Abdussomad Al-Palembani, beliau aktif mengembangkan agama Islam pada masa Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Beliau memiliki reputasi internasional. pernah belajar di Mekkah. dan pad abad ke-18 M. ia kembali ke Palembang dengan membawa mutiara baru dalam Islam. Mutiara tersebut adalah Methode baru untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketika ia berada di Mekah sempat hubungan korespondensi dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta.
Mangkunegara di Susuhunan Prabu Djaka di Surakarta. Surat-surat yang dikirim kepada penguasa formal tradisional, tidak hanya berisikan soal-soal ilmu agama saja tapi juga hal-hal yang menyangkut politik dalam kaitannva dengan kolonialisme Belanda. Dengan demikian ia telah memberikan inspirasi baru berdasarkan doktrin agama, untuk membangkitkan kembali rasa patriotisme dalam menentang penjajah.[4]
Terlepas pada suatu pemikiran apakah beliau termasuk golongan tasawuf Al-Ghozali atau Wahdatul wujud yang pernah diajarkan oleh Ibnu Arabi, Beliau telah menerjemahkan kitab karangannya sendiri yang bernama Sair al-Salikin dan Hidayat al-Salikm yang sampai sekarang masih banvak dibaca di negara-negara Asean yang meliputi Philiphina selatan, Brunai, Malaysia, Thailand Selatan, Singapura dan Indonesia. Begitu penting dan terhormatnya kedudukan ulama disamping sultan, sampai-sampai ulama mendapat tempat tersendiri disamping sultan. Dapat pula kita perhatikan posisi makam-makam para sultan Palembang disampingnya terlihat makam ulama-ulama beserta permaisuri.[5]

E.   Masa Kemunduran Kerajaan Palembang
Setelah meninggalnya Sultan Badaruddin pada tahun 1804 yang memerintah kurang lebih 27 tahun lalu digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Badaruddin. Ia merupakan raja yang terakhir memerintah secara despotis. punya kepribadian yang kuat, berbakat serta terampil dalam diplomasi atau strategi perang. Juga perhatian luas dalam berbagai bidang diantaranya pada bidang sastra.
      Dengan kemerosotan VOC pada akhir abad ke-18 praktis monopolinya di Palembang tidak dapat dipertahankan lagi dan faktorainya di tempat itu hampir lenyap. Krisis ekonomi dan politik yang dihadapi VOC dan kemudian pemerintah Belanda mempercepat peralihan kekuasaan ke tangan Inggris dan akhirnya Palembang jatuh ke tangan ekspedisi Inggris Gillespie pada tanggal 24 April 1812.
Pimpinan pertahanan kerajaan ada ditangan Pangeran Adipati Ahmad Najamuddi. seorang saudara sultan yang tidak menunjukkan loyalitasnya kepada kakaknya. bahkan bersedia berunding dengan Inggris pada tanggal 17 Mei 1812 yang menentukan bahwa PA. Ahmad Najamuddin menjadi sultan Palembang dengan syarat Palembang harus menyerahkan Bangka dan Belitung kepada Inggris. Sementara itu Sultan Badaruddin membangun pertahanan yang kuat di hulu sungai Musi, bermula di Buaya Langu setelah serangan ekspedisi Inggris gagal terhadap kubu tersebut, maka pertahanan dipindahkan lebih kehulu lagi yaitu di Muara Rawas.
Setelah dengan aksi militer Inggris mengalami kegagalan maka ditempuhnya jalan diplomasi dan mengirim Robinsin untuk berunding. Pada tanggal 29 Juni 1812 ditandatangani perjanjian yang menetapkan bahwa sultan Badaruddin diakui sebagai sultan Palembang dan PA. Ahmad Najamuddin diturunkan dari tahtanya.
Pada tanggal 15 Juli sultan Badaruddin tiba di Palembang dan bersemayam di keraton besar sedang PA. Ahmad Najamuddin pindah kekeraton lama. Terangnya pemainan politik Inggris semakin mengurangi kekuasaan sultan dan kondisi kontrak lebih diperberat. Waktu Belanda menerima kembali daerah jajahannya dari Inggris, politik langsung membalik situasi seperti yang diciptakan oleh Inggris.
Sultan Ahmad Najamuddin adalah penguasa yang lemah berbeda dengan Sultan Baharudin yang kala itu sedang menguasai politik. Eksploitasi feodalistis dikalangan keluarga sultan merajalela, banvak perampokan dalam kekosongan kekuasaan didaerah, dan akhir situasi minp dengan anarki.
Mununghe selaku kuasa usaha Belanda bertekad menanam kekuasaan yang kuat di Palembang maka untuk tujuan itu disodorkan kontrak dengan kedua tokoh tersebut (20-24 Juni 1818). Meski kesultanan tidak dihapus, namun kekuasaan sultan lambat laun semakin berkurang. Sultan Palembang dan saudaranya untuk kedua kalinya diturunkan dari tahtanya. Keduanya mendapat daerah kekuasaanuntuk diambil hasilnya sebagai sarana penghidupannya, sedang sebagian besar daerah Palembang dikuasai Belanda.
Najamuddin yang dibelakangkan oleh intervensi Belanda, berusaha memperoleh bantuan Inggris. Usaha Raffles untuk memberi bantuan yang diharapkan itu gagal, dan akhirnya ia sebagai faktor yang membahayakan pemerintahan Belanda diamankan di Batavia. Sementara didaerah pedalaman bergolak terus, antara lain karena tercipta vakum politik dan ruang sosial yang leluasa bagi unsur-unsur bawah tanah untuk beragitasi. Orang-orang minangkabau dan Melayu yang menjadi pengikut Sultan Badaruddin sewaktu dia mengungsi ke hulu sungai Musi melakukan perlawanan terhadap expedisi Belanda yang terpaksa kembali ke Palembang tanpa dapat mengamankan daerah hulu.
Ada kecurigaan pada Muntinghe bahwa sultan Badaruddin ada dibelakang pergolakan di hulu sungai Musi. Beliau dituntut agar meredakan para pemberontakan, lagi pula putra mahkota agar diserahkan untuk dipindah ke Batavia. Kegentingan memuncak waktu perundingan antara Muntinghe dan sultan menemui jalan buntu. Sultan menolak untuk menyerahkan putra mahkota pada tanggal 12 Juni 1819, kapal-kapal VOC ditembaki hingga Muntighe meninggalkan Palembang menuju ke Muntok.
Pergolakan menjalar ke Bangka, Lingga dan Riau, dimana aksiaksi perlawanan terhadap Belanda Terjadi, kesemuanya karena mendapat angin dari Palembang yang berhasil mengenyahkan Belanda. Sultan Badaruddin sebagai ahli strategis tetap waspada dan membangun pertahanan kuat di sepanjang sungai Musi dan Muara sampai Palembang.
Sebelum mengirim ekspedisi, Belanda mengangkat putra Ahmad Najamuddin, yaitu Prabu Anom sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin. Ekspedisi mulai menyerang pertahanan di Plaju pada tanggal 20 Juni 1821, tetapi dipukul mundur oleh pasukan Palembang. Baru pada serangan kedua pada malam 24 Juni Plaju dapat direbut, dan Palembang dapat terbuka bagi angkatan perang Belanda.
Dalam menghadapi situasi itu, sultan Badaruddin mencoba berunding dan tidak lagi melakukan perlawanan. Tanggal 1 Juni keraton diduduki Belanda, kemudian baik kekuasaan sipil maupun militer ada ditangan Belanda dan pada tanggal 12 Juli Residen Overste Keer secara resmi memegang jabatannya dan empat hari kemudian sultan Ahmad Najamuddin dinobatkan.
Pemberontakan dibawah P. Abdurrahman dan Jayaningrat pada tanggal 22 November 1821 yang gagal memberi alasan kepada Belanda untuk menamatkan kesultanan Palembang. Susuhunan (ayah sultan Ahmad) diamankan ke Batavia sedang sultan mengungsi ke hulu sungai Musi untuk meneruskan perlaw anannya. Setelah bertahan selama delapan bulan ia pun ditawan dan diasingkan di Manado dimana ia meninggal pada tahun 1844. Dengan demikian berakhirlah dinasti Palembang yang berkuasa selam beberapa abad itu.[6]






Kesimpulan
            Jika kita tarik benang merahnya dari Kerajaan atau kesultanan Palembang merupakan kerajaan yang cukup tua dan sudah tidak asing lagi bagi kita. Karena kerajaan Palembang juga merupakan salah satu kerajaan maritime terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara pada abad ke 7-15M.
            Bukan hanya itu bahkan kerajaan Palembang juga sempat mencapai masa kejayaannya dibawah pimpinan Sultan Badaruddin karena sikapnya yang bijaksana dan dapat mengelola hasil kerajaan seperti timah dengan bijak. Sampai masa keruntuhan kerajaan Palembang setelah sepeninggalan Sultan Badaruddin pada tahun 1804 yang memerintah kurang lebih 27 tahun lalu digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Badaruddin.
Walaupun putra dari Sultan Badaruddin memiliki kepribadian yang kuat, berbakat serta terampil dalam diplomasi atau strategi perang tetapi kehancuran dari kerajaan atau kesultanan Palembang tidak bisa dihelakkan walaupun dari ada beberapa factor yang mendukung hancurnya kerajaan Palembang.













Daftar Pustaka
·         Gadjannata K.H.O. Sri- Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan.
·         Marwati Djuned. Sejarah Xasional Indonesia. jilid IV
·         Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, (Yogyakarta; Kurnia Kalam Sejahtera, 1995)



[1] Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, (Yogyakarta; Kurnia Kalam Sejahtera, 1995) hlm. 45
[2] Marwati Djuned. Sejarah Xasional Indonesia. jilid IV
[3] Ibid, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, hlm. 47
[4] Ibid, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, hlm. 49
[5] Gadjannata K.H.O. Sri- Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan
hlm. 212.
[6] Ibid, Kerajaan Islam Nusantara Adab XVI & XVII, hlm. 51

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!